sahabat setia

Sunday, December 21, 2008

Jagoanku


Doa dan harapan yang senantiasa tercurah dari orang tua adalah agar bagaimana anak-anaknya dapat menjadi orang yang berguna bagi nusa bangsa dan agama. Ya hanya untaian doa kepada-Nya siang dan malam yang dapat menghantarkannya dalam meniti kehidupan ini. sahabat sudahkah kita berdoa untuk mengiringi langkah kecilnya?

Monday, November 24, 2008

Jalanan

Alunan musik yang merdu menerpa gendang telingaku. Lagu kesukaanku yang diputar dari stasiun radio kesayangan dalam perjalanan selepas jam pulang kantor sedikit meredakan pening dikepala sehabis meeting yang melelahkan. Kucoba memperbesar volume sambil sesekali berdendang mengikuti lirik yang kubisa. Rasa lelah yang mendera setelah seharian berkutat dengan pekerjaan terasa sedikit reda setelah melihat jalanan yang ramai namun masih lancar sore itu. Dengan kecepatan sedang kupacu kendaraanku, sambil melirik waktu yang menunjukkan jam 4:30 sore. Memang aku pulang agak cepet dari biasanya yang jam 8 malam, karena ingin rasanya segera tiba dirumah.
Namun setelah beberapa saat kunikmati jalanan yang lancar lalu tampaklah didepan antrian kendaraan yang mulai merambat dan mengular. Yah…saya pikir telah menemukan jalanan sepi yang dapat kulalui dengan untuk mengantarkanku pulang ke rumah. Memang aku memilih jalanan yang tidak biasanya aku lalui karena berharap tidak akan banyak pengguna kendaraan lain yang melewatinya, namun ternyata dugaanku salah besar. Bukan pada banyaknya orang yang melewati jalanan ini akan tetapi lebih kepada kondisi jalannya yang ternyata telah rusak parah sehingga menghambat laju kendaraan.
Setiap kendaraan terpaksa berhati-hati untuk menghindari lubang dan kubangan yang sewaktu-waktu dapat merusak kendaraan.
Belum lagi kondisi jalan yang aspalnya telah terkelupas habis dan menyisakan batu-batu besar dan genangan air . padahal jalanan itu dipakai untuk dua arah yang berarti setiap pengguna jalan harus berbagi jalanan yang masih bisa dilalui dengan kendaraan yang dating dari arah berlawanan.

Hatiku pun mengutuk diriku sendiri kenapa mengambil jalan ini bukankah tidak biasanya saya melewatinya, dan mengambil jalan yang telah rutin aku lalui. Semakin kesal dan sebel rasanya setiap kali melewati jalanan yang hancur begini. Rasa-rasanya sebagai warga negara yang telah membayar pajak dengan baik berharap mendapat pelayanan prasarana umum yang wajar saja,misalnya jalanan yang tidak rusak, listrik yang nyala terus, atau juga air ledeng yang tetap mengucur, namun benarkah kerusakan jalan atau hal yang lainnya ada korelasinya denngan membayar pajak?, kok rasanya saya tidak yakin kalau tidak ada sangkut pautnya. Atau barangkali terlalu sedikit yang bayar pajak jadi tidak mencukupi dana yang terkumpul untuk perbaikan semuanya yang rusak. Tetapi dengan logika bodoh saya bukankah yang setiap hari yang melewati jalanan ini tidak hanya saya sendiri, tetapi juta ratusan atau bahkan ribuan orang lainnya, sehingga dengan setiap hari melewati jalanan yang rusak tidak terpikirkan bagaimana mencari solusi mengatasinya, termasuk bapak2 dan ibu2 pejabat itu.
Bukankah dengan membiarkan jalanan rusak berarti semakin besar pengeluaran yang tidak semestinya harus dibayar, macet yang berjam2 menghabiskan bensin yang disubsidi oleh pemerintah, kerusakan kendaraan dan kelelahan manusia menimbulkan kerugian materi dan non materi, dan belum lagi kerugian waktu dan kerugian lainnya yang tak terhitung. Sehingga kerusakan jalan adalah musuh bersama yang harus segera diperangi bersama dengan segera.
Memang bukannya bermaksud menuding siapa pun juga yang harus bertanggungjawab atas kerusakan jalanan, misalnya sopir truk yang mengangkut barang melebihi tonase, atau juga jalanan yang memang dibiarkan gotnya mampet tidak terurus sehingga ketika hujan datang jalanan adalah bagaikan sungai, jangan-jangan memang salah kita yang terbiasa membuang sampah sembarangan dijalanan juga, atau memang ya sudah umurnya jalanan sudah bertahun-tahun tidak pernah ada perawatan jadinya ya hancur sendiri. Ya memang banyak sebab yang bisa terjadi dan semuanya serba mungkin menjadi penyebabnya, akan tetapi tanggung jawab tetaplah pada pengambil kebijakan sebelum semuanya terlambat menjadi kerugian nasional karena salah pengelolaan, dan pemerintah adalah bapak-bapak yang kepadanya telah kita serahkan kepercayaan dan tanggungjawab untuk mengelola semuanya.
Akhirnya saya pun sampai dirumah dengan selamat juga namun adakah sesuatu yang istimewa kalau berharap pulang awal agar bisa berkumpul dengan keluarga secepatnya namun toh sampai dirumah sama saja dengan pulang jam 8 malam,ya itulah yang menjadi persoalan, karena gara-gara jalanan yang rusak.

Labels:

Friday, November 14, 2008

Sarimin menghajar ibukota



content="Microsoft Word 12">

Sore yang berdebu, ditengah deru lalulintas yang tersendat dalam keramaian ibukota seekor monyet jantan dengan trengginas mengikuti perintah pawangnya. Melaju sekencang-kencangnya pada sebuah motor-motoran trail butut yang disodorkan tuannya, atau berakting bak ibu-ibu yang akan berangkat ke pasar dengan membawa sebuah payung dan keranjang belanjaan, membuat terpingkal-pingkal manusia, dibalik kaca mobil mewah yang berhenti dihadang lampu merah. Ya sarimin memang sedang bertugas mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk tuannya yang telah berjasa mengajaknya ke ibukota. Dikatakan berjasa.. barangkali … karena seharusnya sarimin bisa leha-leha didahan kayu yang rindang sembari menikmati semilir angin rimba yang sepoi-sepoi sembari ditunggui kawan-kawannya yang mencari kutu disekujur tubuhnya. Namun kini ia harus menjadi comedian yang harus pandai berakting ataupun berakrobat agar tuannya bisa dibilang hebat telah mendidiknya dengan perilaku ala manusia. Sarimin adalah sebuah potret kemiskinan manakala ia menerpa maka dengan segala cara mereka berusaha untuk melepaskannya meskipun harus membantai kehidupan orang lain maupun makhluk lainnya. Sebuah ironi perdaban yang absurd ketika manusia mendefinisikan diri sebagai makhluk yang beradab namun dengan alasan ekonomi atau alasan lainnya mereka jelas-jelas telah mengubah peradaban menjadi tragedy bagi makhluk lainnya. Adakah sarimin merasa senang dengan predikatnya sebagai pahlawan yang menyambung hidup tuannya, ataukah ia merasa memang takdir yang menghantarkan hidupnya dalam pelukan kerja paksa yang tidak semestinya ia jalani? Barangkali yang mesti kita tanya adalah nurani yang ada dalam diri kita sebagai manusia, masih tegakah kita menyaksikan sebuah adegan tak berperikebinatang hadir didepan mata kit, atau memang hal demikian yangdapat memuaskan nafsu kita akan adanya kekerasan yang mengendap dalam memori terdalam kita sehingga justeru menjadi tampilan yang memukau? Terlalu panjang dan berliku untuk memahaminya, bahkan bagi manusia yang paling modern dan canggih sekalipun akan bertekuk lutut dihadapan perut yang keroncongan dan dengan berbagai cara untuk mengatasinya.

Labels:

Saturday, August 16, 2008

Renungan Hari Merdeka

Hari, 17 Agustus 2008, tepat 63 tahun usia Republik ini. Telah banyak perjalanan sebagai sebuah bangsa yang telah dilalui oleh negeri ini. Tanpa terasa waktu berganti berganti begitu cepat, dan para pemimpin bangsa silih berganti. Rakyat Indonesia telah berulang kali mengalami pergantian kekuasaan. Bahkan perubahan sistem politik dan sosial yang telah dicoba oleh para pemimpinya, seringkali mengorbankan jutaan rakyat yang tidak berdosa, bahkan tidak mengetahui untuk apa mereka menjadi korban. Dari berbagai pemberontakan para era perang kemerdekaan, misalnya PRRI, Permesta, NII, Darul Islam dll, hingga medio demokrasi terpimpin, serta otoriterianisme soeharto, rakyat dipaksa untuk menerima berbagai hal yang kadangkala absurd untuk dipahami.

Dengan jargon pembangunan, untuk apa dan untuk siapa semua pembangunan itu dilakukan rakyat tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti kemauan penguasa. Dengan tumbangnya rezim soeharto, rakyat memiliki harapan yang besar untuk mengadakan perubahan. Namun Era Reformasi yang diharapkan dapat benar-benar menjadi sarana menuju Indonesia yang adil makmur, sejahtera masih diawang-awang. Reformasi yang telah dilakukan dengan tumbal yang tidak sedikit dari masyarakat sipil, kini hampir-hampir tenggelam diatas hiruk pikuk PILKADAL dan punahnya jatidiri bangsa akibat telah tergadainya aset-aset nasional dengan dalih privatisasi. Sekali lagi rakyat bertanya untuk apa dan untuk siapa semua ini dilakukan?.

Generasi baru yang diharapkan untuk menjadi generasi penerus bangsa, telah lahir dari perempuan-perempuan yang kelelahan menjadi pengabdi mamon. Generasi busung lapar menjadi menu diberita-berita nasional. Kerusakan moral menjadi sesuatu yang lumrah dan dianggap sebuah keniscayaan. Telah hilang jatidiri bangsa, padahal pembangunan yang hendak dicapai memiliki tujuan mulia yakni memajukan jiwanya dan memajukan raganya. Kini jiwa itu telah terbang bersama kapitalisasi modal oleh perusahaan-perusahaan trans nasional. Sekali lagi kami bertanya untuk apa ini semua, bila rakyat hanya menjadi penonton, dan hanya segelintir manusia yang bisa menikmati seolah-olah hanya merekalah yang memiliki negeri ini. Pun tidak jarang dengan sombong mereka mengatakan semua itu hasil kerja keras mereka.

Indonesia yang diproklamirkan Soekarno - Hatta, tidak terlepas dari hiruk pikuk kolonialisme yang terjadi pada saat itu. Kini saat ini pun kolonialisme gaya baru telah menjerat leher bangsa ini. Komsumerisme, individualisme, egoisme, keserakahan hanyalah sedikit untuk menyebut yang telah terang-terangan terjadi. hendak kemana negeri ini dibawa... 63 tahun indonesiaku merdeka. Kini hatiku tetap menangis. Wahai sahabat apa yang harus kita lakukan.

Wassalam

Monday, August 11, 2008

borobudur


Batu hitam yang terstruktur. Hem.. cukup lama kuedarkan pandanganku, mengupas dari ujung ke ujung, juga dari bawah keatas. Bagaikan bukit yang menggunung. Bagaimana dahulu kala saat batu-batu ini disusun. Dengan peralatan apa kira-kira, batu-batu ini dipahat, diatur dan disusun sedemikian rapi, tak bisa kubayangkan, bahkan kini dengan peralatan yang modern pun akan memerlukan waktu yang lama. Namun inilah borobudur, yang telah dibangun oleh Dinasti Syailendra ditanah Jawa, untuk menghormati Budha Goutama, yang menjadi panutannya. Kuraba dengan jemariku relief-relief yang indah, menggambarkan berbagai macam gambaran kehidupan kala itu, kucoba untuk merasakan aura mistis yang terppahat didinding itu. Betapa keras dan tajam sisa-sisa goresan pahat yang menatah setiap detail yang ada, terbayang betapa kuat titah sang raja mewujudkan mimpinya. Tak terasa bermacam bentuk reliaf yang tak aku mengerti, namun samar2 aku menduga seperti yang dikisahkan dalam buku-buku sejarah kerajaan yang pernah aku baca. Sahabat... betapa nenek moyang kita, telah menorehkan mahakarya yang luar biasa. sudahkah kita pahat prasasti diri kita saat ini, hingga kelak anak cucu kita melihat diri kita....?

Labels:

my angel


Hmm... Betapa bersyukurnya aku, ketika kutatap wajahnya, bagaikan mentari yang selalu menghapus kabut dikalbu. Tawanya yang riang, gerakkannya yang lincah, adalah senandung pagi yang selalu kurindu. Adakah kebahagiaan yang dapat kutakar untuk sekedar mengucap syukur atas karunianya? Bagaimana angsa putih yang menghiasi danau keteduhan, memandangnya adalah bagaikan memandang wajah sang pencipta, yang telah mengukir jiwa dan nurani. Memberinya sebongkah cahaya kehidupan untuk meneruskan kodrat insani. Wahai malaikat kecilku... kan kuhadapi bahtera hidupku yang penuh badai dengan nafas cintamu... hanya gumam syukur yang senantiasa kuucap, atas berkah yanng terlimpah. sahabat.... adakah malaikat kecilmu jua yang melipur lara, menembus belantara ini...?

Labels: